Minggu, 09 Juli 2023

Sejarah Kelapa Sawit Indonesia

Kelapa sawit, sejatinya bukan tanaman asli Indonesia. Sejarah kelapa sawit di Indonesia berawal pada tahun 1848, ketika orang Belanda yang bernama   Dr. D. T. Pryce membawa empat biji kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius, dan Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit tersebut disebar ke Sumatra.


Asal mula kelap sawit di Indonesia

Kelapa sawit yang ditanam di Indonesia merupakan tanaman asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah dengan spesies Elaeis guineensis . Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari, masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.

Monumen kelapa sawit di Kebun Raya Bogor

Monumen kelapa sawit di Kebon Raya Bogor, untuk memperingati tempat empat biji kelapa sawit dari Mauritius dan Hortus Botanicus, ditanam.

Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang ketika itu dipimpin oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur. Di Kebon Raya Bogor, pohon kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara.Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.

Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada tahun 1875, untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan. 

Tidak disangka, ternyata kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatra Utara, pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".

Era Hindia Belanda

Semula, orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka lebih mengenal minyak kelapa. Namun, revolusi industri (1750–1850) yang terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat. 

Perkebunan kelapa sawit berskala besar kemudian dibuka untuk pertama kalinya pada tahun 1911 oleh perusahaan yang didirikan oleh Adrien Hallet asal Belgia dan K. Schadt di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, melalui perusahaannya yang bernama Sungai Liput Cultuur Maatschappij,dengan luas 5.123 hektare

Pada tahun 1911 tercatat ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni Onderneming Soengei Lipoet, Onderneming Kuala Simpang, N.V Moord Sumatra Rubber Maatschappij, Onderneming Soengei Ijoe, Tanjung Suemanto', Batang Ara, dan Mopoli, yang sebagian besar memiliki kebun-kebun karet. Di Aceh Timur pada tahun 1912 terdapat 18 konsesi perkebunan karet dan kelapa sawit dan kembali bertambah menjadi 20 perusahaan perkebunan pada tahun 1923, dengan rincian 12 adalah perusahaan perkebunan karet, tujuh perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan kelapa.

Ekspor kelapa sawit pertama terjadi pada tahun 1919 yang berasal dari perkebunan di Pesisir Timur Sumatra. 

 Memasuki Perang Dunia Pertama, produksi kelapa sawit berjalan lambat dan baru setelah Depresi Besar tahun 1921, aktivitas penanaman kelapa sawit kembali bergairah. Pada tahun 1924, luas area perkebunan kelapa sawit meningkat dari 414 hektare menjadi 18.801 hektare. Di Jawa juga muncul pabrik-pabrik minyak kelapa sawit berskala kecil yang memproduksi sabun dan mentega.

Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936 dari hanya seluas 6.920 hektare tahun 1919. Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi 190.627 ton minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan 39.630 ton minyak kernel.

Di Aceh Timur, produksi kelapa sawit berhasil melampaui produksi karet pada tahun 1935 dan pada tahun 1939 perkebunan di wilayah tersebut mampu menghasilkan kelapa sawit sebanyak 2.627 ton. Pada umumnya, perusahaan perkebunan menanam tidak hanya satu komoditas saja tapi mencampurnya dalam satu area lahan perkebunan dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Kehadiran perkebunan besar turut mendorong munculnya perkebunan-perkebunan rakyat di sekitarnya.

Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.

Era pendudukan Jepang

Pada zaman pendudukan Jepang (1942–1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam. Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.


Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.

Kelapa Sawit Indonesia

Sepanjang periode 1945 hingga tahun 1950, pemerintah Indonesia belum terlalu fokus pada pembangunan ekonomi. Sejak tahun 1950, dimulai proses nasionalisasi terhadap semua perusahaan perkebunan milik Hindia Belanda. Salah satunya adalah PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare, yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial Hindia Belanda. Melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.

Luas lahan perkebunan sawit pada tahun 1979-1980 tercatat masih 289.526 hektare yang didominasi oleh perusahaan perkebunan besar. Luas lahan tersebut kemudian bertambah menjadi 5,958 juta hektare pada tahun 2006, dengan rincian perkebunan rakyat seluas 2.120.338 hektare, perkebunan besar negara seluas 696.699 hektare, dan perkebunan besar swasta seluas 3.141.02 hektare. Adapun produksi CPO yang dihasilkan mencapai 14,2 juta ton.

Sebaran lahan perkebunan


Pada tahun 2006, lahan perkebunan kelapa sawit sudah tersebar di 21 provinsi, dengan lima provinsi yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas berada di Riau 1,3 juta hektare, Sumatra Utara 964,3 ribu hektare, Sumatra Selatan 532,4 ribu hektare, Kalimantan Barat 466,9 ribu hektare, dan Jambi 466,7 ribu hektare. Pada tahun ini, Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.

Sementara untuk tahun 2022, menurut data Kementerian Pertanian yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 14,9 juta hektare. Perkebunan kelapa sawit terbesar berada di Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur.

BACA JUGA : 5 Negara Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Dunia

Badan Layanan Umum Dana Perkebunan Kelapa Sawit

Berdasarkan amanat UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pemerintah membentuk Badan Layanan Umum Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di bawah naungan Kementerian Keuangan, dengan tujuan menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan untuk digunakan mendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. BLU Kelapa Sawit resmi dibentuk pada 10 Juni 2015.


Sejak berdiri tahun 2015 hingga 2021, BLU kelapa Sawit telah mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 144,7 triliun. Hampir 50 persen atau setara Rp 72,45 triliun penerimaanya diperoleh pada tahun 2021 akibat tingginya harga CPO. Secara terperinci, penerimaan yang masuk ke BLU Kelapa Sawit pada tahun 2015 adalah sebesar Rp 6,97 triliun, 2016 Rp 12,3 triliun, 2017 Rp 14,79 triliun, 2018 Rp 15,46 triliun, 2019 Rp 1,48 triliun, dan 2020 Rp 21,27 triliun. Pada semester I-2022, penerimaannya mencapai Rp 25,22 triliun.

Kontroversi kelapa sawit

Meski menjadi salah satu industri bagi jutaan kelompok kerja dan memberikan pendapatan bagi negara, industri kelapa sawit juga menuai kontroversi karena dampak lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, kerusakan habitat, dan konflik lahan dengan masyarakat adat.


Admin